Thursday, 4 April 2013

PERINGATAN UNTUK ABRAHAM SAMAD

Mari kita cermati kronologis peristiwa-peristiwa di bawah ini.

1. Tahun 2002 Presiden Megawati mengeluarkan mekanisme penyelesaian hutang BLBI yang disebut Surat Keterangan Lunas (SKS) untuk para debitur BLBI.

2. Atas terbitnya SKS tersebut pada tahun 2004 Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan terhadap 10 tersangka kasus BLBI.

3. BPK menyatakan dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank-bank nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun di antaranya dinyatakan merugikan negara.

4. Tahun 2008 KPK menangkap Jaksa Urip, ketua tim penyidikan kasus BLBI Kejaksaan Agung, karena menerima suap dari Artalita, bendahara debitur BLBI Syamsul Nursalim. Syamsul Nursalim memiliki kewajiban untuk melunasi BLBI senilai Rp 52 triliun, namun baru dibayar Rp 19 triliun.

5. Ketua KPK Antasari Azhar menyatakan akan membuka kembali kasus BLBI dengan menggunakan "pintu masuk" penangkapan Jaksa Urip.

6. Tahun 2009 KPK mendapatkan tekanan berat. 2 pemimpinnya ditangkap polisi karena suap dalam satu drama pertikaian antara kepolisian dan KPK yang disebut dengan istilah "cicak melawan buaya". Sementara ketuanya, Antasari Azhar dipenjara karena kasus pembunuhan yang sangat kontroversial.

7. Tekad KPK untuk membuka kasus BLBI menjadi terkatung-katung.


Antara poin 6 dan 7 kita menyaksikan betapa seluruh rakyat Indonesia dijejali dengan berbagai drama pertunjukan yang mengaburkan masalah BLBI. Kasus "cicak melawan buaya", kasus rekaman pembicaraan Anggodo-Artalita dengan pejabat Kejaksaan Agung, Polri dan LPSK, kasus Susno Duaji melawan Polri, dan terakhir tentu saja kasus pembunuhan seorang direktur BUMN yang menjerat Antasari Azhar. Di antara para pemain drama itu adalah Ketua MK Mahfud MD (bakal calon presiden mendatang), Anggodo dan Bonaran (kini menjadi seorang bupati), Tim 8, Susno Duaji, Bibit Waluyo, Chandra Hamzah (pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran etika dengan bertemu orang-orang bermasalah seperti Nazaruddin, di tempat umum), dan tentu saja para aktifis "civil society".

KPK sekarang di bawah kepemimpinan Abraham Samad, tengah berusaha mengorek kembali kasus BLBI. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah meminta keterangan mantan menko perekonomian era presiden Megawati, Kwik Kian Gie, hari Selasa (2/4). Namun hanya selang 2 hari kemudian Abraham Samad mendapatkan "tamparan" yang memalukan berupa teguran dari Komite Etik KPK kasus bocornya sprindik Anas Urbaningrum.

Tamparan terhadap Samad sebenarnya sangat besar maknanya, tidak beda dengan upaya kudeta tak berdarah. Karena dengan "tamparan" tersebut terdapat "pesan" terselubung dari Komite Etik yang menginginkan Abraham Samad untuk mengundurkan diri. Sebagaimana kita ketahui, beberapa waktu lalu Abraham Samad sendiri menyatakan ada upaya kudeta terhadap dirinya. Yang menarik adalah sebagian anggota Komite Etik adalah orang-orang yang pernah terlibat drama pengalihan isu BLBI, yaitu Tim 8, terutama ketuanya, Anies Baswedan yang menjabat Rektor Universitas Paramadina, kawah candradimuka gerakan Islam Liberal Indonesia.

Mari kita kaji teguran Komite Etik terhadap Abraham Samad. Samad tidak terbukti terlibat dalam pembocoran sprindik, namun ia dihukum karena masalah lain yang tidak terkait kasus pembocoran sprindik yang menjadi dasar pembentukan Komite Etik, yaitu masalah etika kepemimpinan. Terhadap kasus pembocoran sprindik sendiri Komite Etik KPK terkesan mengecilkan artinya dengan tidak membawanya ke masalah pidana. Namun kepada Samad, Komite Etik justru memberikan hukuman yang menurut Abraham Samad sendiri sebagai "berlebihan". Tidak dibawanya masalah kebocoran sprindik ini ke ranah hukum pidana diduga kuat karena bisa membuat kasus ini berkembang luas, di antaranya melibatkan istana dan elit-elit Partai Demokrat sebagai pemesan bocornya sprindik agar bisa mendepak Anas Urbaningrum dari kursi kepemimpinan Partai Demokrat.

Sebenarnya keberadaan Komite Etik tidak diperlukan, karena dari semula sang pembocor sprindik, Wiwin Suwandi, sudah mengakui kepada penyidik internal KPK bahwa dirinya membocorkan sprindik atas inisiatif pribadi. Dengan pengakuan tersebut sebenarnya masalah bisa langsung diselesaikan dengan memberi sanksi terhadap Wiwin tanpa repot-repot membentuk komite etik. Lalu mangapa Komite Etik dibentuk kalau bukan untuk mempermalukan Abraham Samad?

Bahwa di kalangan pimpinan KPK terjadi perpecahan, sudah menjadi rahasia umum. Abraham Samad yang berasal dari daerah dan belum banyak terkooptasi oleh budaya korupsi Jakarta diduga sering berselisih pandangan dengan rekan-rekannya yang sudah malang-melintang di bidang hukum ibukota. Bambang Widjojanto misalnya, adalah mantan pengacara kasus BLBI. Keberadaannya di KPK tentu saja membuatnya terlibat konflik kepentingan saat KPK hendak mengusut kembali kasus BLBI.

Yang menarik adalah Bambang adalah salah seorang ketua KPK yang duduk dalam Komite Etik. Keberadaannya seakan memperkuat kesan bahwa Komite Etik memang sengaja dibuat untuk mempermalukan Samad. Secara etika seharusnya ia tidak hadir saat Komite Etik membacakan keputusannya menghukum mitranya, Abraham Samad.

Selain Bambang, anggota Komite Etik lainnya, Abdullah Hehamahuwa, adalah sosok yang patut dipertanyakan integritasnya. Sebagai seorang penasihat KPK ia pernah mencela Nazaruddin, padahal mestinya ia berterima kasih padanya karena Nazaruddin adalah "wistler blower" yang banyak membongkar kasus korupsi. Ia juga pernah secara culas memfitnah Fuad Bawazier sehingga gagal diangkat menjadi menteri oleh Presiden SBY. Di atas itu semua ia adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Menjelang pemilihan ketua KPK periode kepemimpinan Antasari Azhar, Abdullah yang menonjolkan cici-cici seorang muslim dengan jenggot panjangnya, menyatakan menolak mencalonkan diri sebagai ketua KPK karena alasan ajaran agama Islam melarang seseorang mengajukan diri untuk menjadi pejabat. Namun saat pemilihan ketua KPK terakhir, ia termasuk orang yang mengajukan lamaran. Dan ketika gagal menjadi ketua KPK, ia melamar menjadi anggota tim penasihat.

Bagi saya (blogger), tamparan yang diterima Abraham Samad berupa teguran Komite Etik merupakan peringatan kepadanya untuk tidak meneruskan penyelidikan kasus BLBI. Atau ia akan mengalami nasib seperti pendahulunya, Antasari Azhar.

No comments: