Pemerintah kembali mewacanakan "pengurangan subsidi" BBM akibat membengkaknya "subsidi" yang dianggap mengancam keuangan pemerintah (APBN).
Saya, sebagaimana ekonom Kwik Kian Gie, adalah orang yang selama ini menganggap istilah "subsidi" sebagai tipuan pemerintah. Saya menganggap hal itu disebabkan karena istilah tersebut dimunculkan oleh ketidak jujuran pemerintah yang menyembunyikan keuntungan namun menggembar-gemborkan kerugian.
Okey, Indonesia memang mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan harga internasional dan menjualnya dengan harga domestik, dan selisih pendapatan dari minyak impor tersebut disebut "subsidi". Lalu mengapa minyak yang diproduksi di dalam negeri (non impor) dengan biaya produksi murah, tidak disebut BBM "untung" atau "komersial"? Seperti kita ketahui dan sudah pernah diakui sendiri oleh mantan Kepala Badan Fiskal Depkeu DR. Anggito Abimanyu bahwa pendapatan dari BBM "untung" masih jauh lebih besar dari BBM "subsidi", sehingga secara keseluruhan sebenarnya tidak ada "subsidi".
Ketidak setujuan saya tentang terminologi "subsidi" BBM disebabkan juga oleh ketidak-bijakan pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. Kalau demi APBN pemerintah mempersoalkan "subsidi" BBM sembari menyembunyikan "keuntungan"nya, mengapa pemerintah tidak mempersoalkan subsidi untuk para bankir pengemplang BLBI yang nilainya mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya? Atau mengapa pemerintah tidak mengefektifkan pengumpulan pajak sembari mengefisienkan APBN dengan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya konsumtif? Persoalan "subsidi" BBM menurut saya lebih banyak terkait dengan masalah rente ekonomi yang selama ini dinikmati para mafia minyak Indonesia yang sebagiannya adalah pejabat pemerintah sendiri.
Untuk mengatasi masalah APBN, atau lebih tepatnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sebenarnya bisa dilakukan dengan sejuta cara. Semuanya berkisar tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya yang dimiliki negara ini sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Jika semua kekayaan alam di Kalimantan saja, seperti batubara dan hasil hutan, bisa dikelola dengan maksimal, maka Indonesia akan mengalami kemakmuran. Apalagi jika tambang-tambang emas milik Freeport dinasionalisasikan dan diserahkan pengelolaannya kepada Aneka Tambang, maka kemakmuran juga akan melimpahi seluruh rakyat Indonesia.
Jika hutan-hutan belukar di Papua dan Kalimantan diubah menjadi hutan tanaman industri atau ladang-ladang perkebunan dan pertanian serta peternakan, maka kemakmuran juga akan melimpahi negeri ini. Jika padang-padang savana di Nusa Tenggara dibangun menjadi industri peternakan besar, maka kemakmuran juga akan melimpahi seluruh rakyat Indonesia. Apabila sarana transportasi dan komunikasi ditingkatkan di Sumatera, Kalimatan, Sulawesi dan Papua, maka kemakmuran juga bakal melimpahi negeri ini. Dan jika pusat-pusat pembangkit energi dibangun berdasarkan potensi wilayah seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) dan gas (PLTG) di Jawa dan pembangkit listrik tenaga batu bara di Kalimantan dan Sumatera, maka kemakmuran juga akan melimpahi negeri ini. Jika para personil TNI dan perlengkapan zeninya yang lebih banyak "nganggur" diberdayakan untuk membuka ladang-ladang perkebunan dan pertanian di daerah-daerah terpencil, maka kemakmuran juga akan melimpahi negeri ini.
Tentang subsidi BBM ini kita perlu belajar dari Iran yang secara cerdas berhasil mengalihkan konsumsi BBM menjadi gas sehingga dicapai efisiensi ekonomi yang sangat signifikan yang pada akhirnya meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Indonesia perlu belajar dari Iran, karena INdonesia kaya dengan sumber energi panas bumi dan gas yang masih belum banyak dimanfaatkan.
Tentang kiat Iran mengatasi masalah "subsidi" BBM terdapat satu tulisan menarik oleh Dina Sulaiman, seorang blogger dan ahli politik internasional dari Unpad Bandung. Selengkapnya silakan klik di sini: http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/04/21/dan-iran-pun-cabut-subsidi-bbm-transportasinya/
No comments:
Post a Comment