Kasus ini mestinya menarik perhatian orang-orang yang mengaku, atau dielu-elukan media massa sebagai "pejuang demokrasi", "lokomotif demokrasi" dan demokrasi-demokrasi lainnnya, untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran atau bahkan melakukan aksi mogok makan. Namun tentu saja mereka tidak akan melakukannya karena orang-orang yang harus mereka protes adalah orang-orang yang memberi mereka "pekerjaan".
Kasus ini adalah hukuman penjara semena-mena yang dialami oleh pejuang HAM Lynne Stewart yang sudah berumur lanjut (73 tahun) dan tengah menderita penyakit serius.
Lynne ditangkap aparat hukum Amerika pada tahun 2002 dengan tuduhan yang sangat kontroversial, yaitu bekerjasama dengan teroris, dan pada tahun 2009 dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun. Kini ia tengah sekarat akibat sakit kanker payudara yang sudah menyebar, namun pemerintah menolak membebaskannya dengan alasan kemanusiaan.
Yang dilakukan oleh Lynn sebenarnya hal yang wajar dalam praktik hukum, yaitu menjalin komunikasi dengan kliennya di penjara. Namun sejak diterapkannya UU Patriot paska Serangan WTC tahun 2001 yang mengubah Amerika menjadi negara polisi, hal yang biasa itu menjadi senjata mematikan yang digunakan oleh para pejabat korup terhadap seorang pejuang HAM sejati seperti Lynn.
Suami Lynn, Ralph Poynter, dan lebih dari 10.000 orang dari berbagai penjuru dunia telah menandatangani petisi pembebasan Lynn dengan alasan kemanusiaan dan keadilan. Namun pemerintah Amerika tidak bergeming sedikit pun meski para penandatangan petisi terdiri dari tokoh-tokoh penting dunia seperti pemenang Nobel Perdamaian dan Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu.
Kasus yang dialami Lynn menjadi bukti bahwa Amerika, negara demokrasi modern pertama di dunia, telah berubah menjadi negara fasis yang menindas rakyatnya sendiri. Dan bukti ini semakin nyata setelah peristiwa Pemboman Boston, pemerintah menerapkan kondisi darurat perang terhadap salah satu kota terbesar dan bersejarah Amerika ini.
Lynne Stewart mulai dikenal sebagai pejuang HAM pada tahun 1960-an saat ia terlibat dalam pembelaan hukum terhadap orang-orang kalangan bawah di New York. Ia juga terlibat dalam pembelaan terhadap aktifis kulit hitam, antifis anti-Perang Vietnam, hingga pejuang kemerdekaan Irlandia. Hampir semuanya berkisar tentang perjuangan membela hak orang-orang yang terpinggirkan.
Setelah terjadinya pemboman WTC tahun 1993, seorang ulama kelahiran Mesir yang sudah renta, miskin dan buta bernama Sheikh Omar Abdel-Rahman dituduh sebagai pelakunya. Publik dan terlebih lagi sebagian besar kalangan penegak keamanan Amerika percaya penuh bahwa tuduhan tersebut mengada-ada. Di bawah pembelaan Lynn namun dengan persepsi publik yang telah dimanipulir oleh media massa dan pejabat Amerika tentang Islam, Sang Sheikh Buta akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 1995.
Namun Lynn tidak pernah berputus asa. Secara profesional ia tetap memperjuangkan pembebasan kliennya meski telah dijatuhi hukuman, termasuk dengan mengadakan kunjungan-kunjungan ke penjara Sheikh Omar. Pada saat itulah predikat "pembela teroris" telah disematkan pada diri Lynn oleh media-media massa korup Amerika.
Setelah Serangan WTC tahun 2001, pemerintahan fasis Amerika yang dipimpin Presiden George "Dubya" Bush dengan Jaksa Agungnya John Ashcroft mulai menerapkan undang-undang fasis untuk membungkam suara-suara kritis warga Amerika dengan menggunakan alasan "perang melawan terorisme". Tindakan-tindakan legal yang dilakukann Lynn dengan mantan kliennya di masa lalu dijadikan alasan untuk menjeratnya dengan tuduhan "bekerjasama dengan musuh negara".
Kini Sheikh Omar telah bebas, namun sebaliknya Lynn Stewart harus tinggal di tengah kepengapan penjara pada saat hidupnya terancam oleh salah satu penyakit yang paling menyakitkan. Pemerintah Amerika berkukuh memenjarakannya karena mereka sadar penuh, Lynn adalah sedikit orang yang mengetahui betul kebobrokan sistem hukum dan pemerintahan Amerika. Keberadaannya di luar penjara dianggap sebagai ancaman serius bagi mereka.
REF:
"Lawyer’s jail torment marks US totalitarian state"; Finian Cunningham; Press TV; 24 April 2013
No comments:
Post a Comment