Sunday 23 June 2013

BILA BULAN SABIT MENJADI PURNAMA

Para penguasa Arab, terutama Arab Saudi dan negara-negara Teluk, kini tengah dihinggapi ketakutan bahwa "bulan sabit Shiah", yaitu kawasan yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Shiah yang membujur dari Yaman, Iran hingga Sinai, akan menjadi "bulan purnama", seiring menguatnya pengaruh Iran dan sekutu-sekutunya.

Kekhawatiran tersebut setidaknya telah diungkapkan oleh mantan kepala inteligen Saudi Arabia Pangeran Muqrin kepada para diplomat Amerika, sebagaimana ditulis Angus McDowall dalam satu artikel di kantor berita Inggris Reuters belum lama ini.

"Ketakutan itu, yang terbongkar melalui kabel komunikasi kedubes Amerika yang dibocorkan oleh Wikileaks tahun 2009, kini terpusat pada Syria. Pasukan Presiden Bashar al-Assad yang didukung Iran kini tengah bergerak maju dengan bantuan pejuang-pejuang Shiah Hezbollah, sementara para pemberontak Sunni yang didukung Saudi bertempur melawan mereka.”

Menurut Reuters konflik Syria dipandang oleh Saudi Arabia sebagai titik berat dari persaingannya melawan Iran, negara yang dianggap sebagai ancamana terbesar Saudi Arabia.

Abdulaziz al-Sager, pimpinan pada lambaga kajian Gulf Research Centre di Jeddah, membongkar beberapa aspek lain yang menjadi perhatian Saudi Arabia atas konflik di Syria: "Jika pemerintah Syria menang, hal itu membuktikan pada negara-negara Arab bahwa Iran sanggup melindungi sekutu dekatnya di kawasan. Hal ini akan melemahkan aliansi barat dan sekutu-sekutunya."

Kemenangan militer Syria dengan bantuan Hizbollah di al-Qusayr baru-baru ini membuat Saudi Arabia gelisah. Mereka merasa bahwa negara-negara barat, terutama Amerika, telah menunjukkan sikap ambivalen: di satu sisi menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al Assad, namun di sisi lain tidak bersedia melakukan tindakan nyata seperti melakukan intervensi. Bahkan ketika Presiden Obama mengumumkan akan mempersenjatai para pemberontak Syria, namun kapan dan bagaimana mekanismenya belum dijelaskan oleh Amerika. Hal ini memaksa Saudi harus "menanggung beban sendirian" dengan meningkatkan bantuan senjata pada pemberontak termasuk rudal-rudal anti-pesawat. Namun itu pun dianggap masih belum cukup untuk mengubah peta kekuatan di medan perang Syria. Apalagi kini, kecuali Hizbollah, Syria juga mendapat bantuan dari milisi Shiah Irak "Brigade Abolfazl al-Abbas" yang keduanya mendapat julukan sebagai "cekikan besi Iran".

"Empat orang yang menangangi Syria dalam pemerintahan Saudi, yaitu Raja Abdullah dan ketiga keponakannya Menlu Pengeran Saud al-Faisal, Kepala Inteligen Pangeran Bandar bin Sultan serta Kepala Dewan Keamanan Nasional Pangeran Salman bin Sultan, menginginkan keterlibatan Amerika yang lebih besar di Syria," tulis Reuters.

Ketakutan itulah yang kini telah memaksa para pemimpin Arab dan para pendukung pemberontak menggunakan isu agama sebagai andalan terakhir. Namun hal ini pun bagaikan pisau bermata 2 bagi regim-regim Arab. Di satu sisi sentimen agama justru akan memperkuat dukungan bagi pemerintahan Syria yang berada di antara komunitas Shiah dan Alawi serta kelompok etnis minoritas Druze dan Kristen. Sementara di sisi lain para "mujahidin" Sunni garis keras (wahabi-salafi) bisa menjadi ancaman sendiri bagi para pemimpin Arab.

Bahkan ketika perang terbuka terjadi, Saudi merasa kurang percaya diri menghadapinya Syria dan terlebih lagi tentunya terhadap Iran. Ketika menyerang Irak bersama Amerika dan sekutu-sekutunya tahun 1991, misalnya, militer Saudi hanya memainkan peran yang tidak penting.

"Rusia tetan komit. Iran tetap komit. Sekutu-sekutu barat tidak komit hingga pada satu level yang memalukan. Hal itu menjadi isu yang serius. Dengan cara seperti ini Bashar al Assad akan menang," tulis Reuters.

Di sisi lain Saudi juga khawatir dengan keterlibatan Amerika dengan kondisi pemberontak yang terpecah-pecah idiologinya, antara mereka yang beraliran sekuler-liberal dengan para ekstremis wahabi.

Dan pada titik ini bencana pun muncul dengan munculnya Sheikh Hasan Rouhani, figur moderat yang sulit untuk "diserang", sebagai presiden Iran, hingga dari awal seruan "damai" yang dikeluarkannya mendapat sambutan hangat dari kemenlu Saudi sendiri.



REF:
"What If The ‘Shiite Crescent’ Became A ‘Full Moon’!"; almanar.com.lb; 20 Juni 2013

No comments: