Monday 10 June 2013

PERANG DUA ULAMA SIDON

Seiring berlangsungnya pertempuran di al Qusayr, Syria, di kota Sidon Lebanon berlangsung juga pertempuran yang cukup seru antara pihak-pihak yang mendukung pemberontak Syria melawan pihak-pihak yang mendukunng pemerintah Syria. Sampai saat ini diperkirakan jumlah korban tewas dalam pertikaian di Sidon ini setidaknya telah merenggut nyawa 25 orang. Namun di balik "pertempuran" di Sidon ini terdapat "pertempuran" lain lagi, yaitu "perang pengaruh" antara 2 orang ulama: Imam Masjid al-Quds dan tokoh Sunni Sheikh Maher Hammoud melawan pemimpin gerakan salafi-wahabi Ahmad al-Asir.

Perselisihan antara keduanya merupakan salah satu faktor yang membuat perselisihan di Sidon semakin "menarik". Sheikh Maher Hammoud merupakan pendukung gerakan "Perlawanan" Hizbollah meski beliau adalah seorang pemuka Sunni. Sementara al-Asir merupakan pendukung utama pemberontak Syria bahkan dikabarkan terlibat langsung di medan perang al Qusayr.

Saat ini perselisihan antara kedua ulama tersebut kembali menjadi perhatian publik setelah adanya upaya pembunuhan terhadap Sheikh Hammoud pada hari Senin (3/6). Meski belum ada bukti kuat, publik pun mengarahkan pandangan pada lawan Sheikh Hammoud, yaitu al-Asir.

Pada hari Sabtu lalu (8/6) Sheikh Hammoud mengadakan wawancara eksklusif dengan media milik Hizbollah Almanar, mengungkapkan pemikiran dan pendapat-pendapatnya tentang berbagai isu politik yang berkembang di kawasan. Ia berpendapat bahwa apa yang terjadi di Lebanon, Syria dan kawasan merupakan perpecahan, namun saat kebaikan dan keburukan saling terkait seseorang harus mengambil sikap yang menguntungkan negara dan agama. Tentang upaya pembunuhan terhadap dirinya ia menunjuk pada kelompok "takfiri" (orang-orang yang suka mengkafirkan) yang secara tidak langsung ia menunjuk pada al-Asir.

“Saya rasa dalam beberapa hari mendatang banyak hal (tentang upaya pembunuhan) akan terkuak," katanya.

Dalam wawancara tersebut secara umum Sheikh Hammoud mengingatkan tentang bahaya berkembangnya faham "takfiri" di antara umat Islam Lebanon, yang dengan gampang melakukan pembunuhan terhadap orang Islam yang berbeda pandangan dengan mereka.

“Bayangkan jika regim di Syria tumbang dan orang-orang takfiri serta Amerika dan antek-anteknya menguasai negeri itu, apa yang akan terjadi dengan Lebanon?”

“Menurut saya bencana akan terjadi jika pemerintah Syria ditumbangkan sebagaimana direncanakan mereka (takfiri dan antek-antek Amerika)," kata Sheikh Hammoud.

Mengenai Hizbollah ia membela langkah Hizbollah menerjunkan diri dalam pertempuran di Syria dan memujinya sebagai langkah yang bisa mencegah bencana bagi bangsa Lebanon dan seluruh kawasan.

"Kita semua tahu bahwa masalah ini akan selalu dipandang dari sudut pandang sektarian. Namun demikian Hizbollah tidak terlihat melakukan tindakan yang bisa memancing perpecahan. Hizbollah tahu benar resiko dari perang di al Qusayr. Bagaimanapun, saat harus memilih antara yang buruk dan yang terburuk, Hizbollah memilih yang pertama," katanya.

Di sisi lain Sheikh Hammoud mengkritik langkah-langkah yang diambil berbagai gerakan Islam di Timur Tengah khususnya Ikhwanul Muslimin yang saat ini muncul sebagai kekuatan politik yang berpengaruh paska revolusi "Arabs Spring". Menurunya Ikhwanul Muslimin telah melenceng dari garis yang dibuat oleh pendiri organisasi tersebut, yaitu Hasan al Bana. Sebagaimana kita ketahui Ikhwanul Muslimin dibentuk oleh al-Bana untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.

"Jika mereka setia dengan ajaran Imam al-Banna, mereka akan mengambil sikap seperti saya," katanya menunjuk pada sikap Ikhwanul Muslimin yang telah berkolaborasi dengan Amerika dalam krisis Mesir dan Syria.

Sebaliknya Sheikh Hammoud memuji apa yang telah dilakukan Iran yang disebutnya telah berjasa besar bagi negara Lebanon.

"Langkah dan tindakan Iran mengindikasikan bahwa mereka hanya memiliki satu tujuan, yaitu Palestina. Mereka menganggap semua halangan dan kesulitan sebagai hal yang mudah demi meraih tujuan mereka," katanya tentang Iran.


AL ASIR DAN PANDANGAN SHEIKH HAMMOUD TENTANGNYA

Pada akhir bulan Februari lalu Sheikh Hammoud mengadakan konperensi pers terkait dengan ketegangan sektarian yang terjadi di Sidon setelah Al Asir dan pendukung-pendukungnya berusaha merebut apartemen milik Hizbollah yang diklaim sebagai milik mereka. Dalam kesempatan tersebut beliau mengecam Al Asir dan pendukung-pendukungnya, termasuk negara-negara Arab kaya minyak.

"Raja-raja minyak, menghabiskan uang rakyat untuk korupsi, berbeda dengan Iran yang memproduksi energi nuklir, pesawat, mobil dan membantu perjuangan Palestina," katanya.

Kepada Al-Asir ia mengajukan pertanyaan, "Siapa yang memberi kuasa pada Anda untuk menentukan Sunni? Kami lebih Sunni dibanding para wahabi radikal (seperti Anda). Belajarlah pada kami sebelum terlambat. Kesombongan Anda membuat Anda menjauh dari suara kebenaran dan pemahaman terhadap al Qur'an."

“Teman-teman Shiah kami dalam berpolitik telah sesuai dengan Islam, dan perjuangan mereka merupakan ibadah yang diperintahkan Allah. Kami tidak akan membiarkan kegilaan Anda membawa negeri ini ke arah yang tidak diinginkan masyarakat kota Sidon," kata Sheikh Hammoud.

Selama dua tahun terakhir, ulama ekstrimis salafi bernama al Asir ini mulai memecah belah kota Sidon di Selatan Libanon dan mengungkapkan tujuannya untuk melawan Hizbollah dengan dukungan para politisi opportunis Lebanon dan negara-negara Arab

Ahmad al-Asir al-Husseini dilahirkan dari ayah yang sunni dan ibu yang syiah di Sidon pada tahun 1968. Kakeknya Yusuf bin Abdel Qadir bin Mohammad al-Asir al-Husseini adalah seorang penyair, peneliti dan salah satu pendiri gerakan "Renaissance" di Shamat. Al-Asir memiliki dua istri dan tiga anak.

Dia dikenal dengan nama keluarga 'al-Asir' (tawanan) di Libanon karena salah satu nenek moyangnya pernah ditangkap pasukan Perancis selama masa penjajahan Libanon.

Ia mulai dikenal keilmuannya sejak anak-anak setelah meraih gelar hafiz Qur'an pada umur 7 tahun. Dia belajar mata pelajaran agama di sekolah Sunni Dar al-Fatwa di Beirut sebelum menjadi imam di Masjid Bilal di Sidon. Al-Assir mulai terkenal di awal 2011 ketika dia mulai menganjurkan rakyat untuk melawan Bashar al-Assad.

Selama karirnya sebagai tokoh politik, al-Assir telah membuat berbagai pernyataan yang telah disiapkan untuk menghidupkan perang sektarian di Libanon. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang ulama ekstremis dan secara terbuka mengutuk Sayyid Hasan Nasrullah, pemimpin Hizbolah Libanon.

Meskipun al-Asir tidak mendapat dukungan penuh dari kaum Muslim Sunni, rencana dan programnya telah membuat dirinya menjadi ancaman potensial bagi Hizbullah dan perjuangannya melawan Israel. Dengan populasi sekitar satu juta orang, Muslim Sunni menyumbang 27-30 % dari total populasi Lebanon. Mereka banyak menetap di kota-kota besar seperti Sidon dan Tripoli, dan di ibukota Beirut populasi mereka mencapai 2/3 dari jumlah penduduk.

Ada juga penduduk Sunni dalam masyarakat petani dan kelompok kesukuan di wilayah Timur Bogha, Akkar dan Hasibia yang mendukungnya. Pendukung al-Asir pada awalnya terbatas tapi jumlahnya kemudian meluas secara bertahap. Para pendukung al-Asir dapat dikategorikan menjadi dua kelompok:

Pertama, mereka yang menyetujui ideologi salafi al-Asir. Kelompok ini berkembang secara eksponensial di dunia Sunni karena berbagai alasan: promosi kegiatan pendidikan dan dukungan yang dilakukan gerakan salafi-wahhabi, investasi yang dilakukan beberapa negara Arab di Teluk Persia, kegiatan anti-AS yang dilakukan al-Qaeda dan gelombang baru kebangkitan Islam. Sebagian besar orang-orang kelompok ini dapat ditemukan di kawasan kelas rendah sekitar Beirut seperti Sidon, Tripoli, Akkar, daerah nomaden di Bogha, Hasibia dan juga di kamp-kamp pengungsi Palestina.

Kategori kedua terdiri dari Muslim Sunni yang tidak setuju dengan pemikiran Salafi, tapi mengikuti Sheikh Ahmad al-Assir karena secara terbuka melawan Suriah, Hizbullah dan Muslim Syiah. Kelompok ini terutama ditemukan pada kelas menengah perkotaan di Saida, Beirut dan Tripoli.

Dari 1 juta warga Sunni di Lebanon, 65 % dari mereka mendukung sikap al-Asir terhadap Hizbullah dan mendukungnya. Sisanya, lebih menyukai Hizbollah karena mereka tidak puas dengan tindakan Sheikh dalam masalah antar-suku dan perpecahan yang diciptakannya. Sekitar 25 % warga Sunni secara intelektual konsisten dengan al-Asir dalam masalah konflik Syria dan perluasan propaganda politiknya. Mereka bekerja sama dengannya dalam ideologi salafi.

Dengan dukungan keuangan dari negara-negara minyak Arab, al-Asir berhasil mengembangkan aktivitasnya di berbagai bidang seperti media (menurut beberapa sumber dia akan mendirikan sebuah saluran televisi satelit dalam beberapa bulan ini), jaringan sosial, dan pusat-pusat pendidikan dan agama.

Terjadinya gejolak di dunia Arab menyiapkan sarana bagi kegiatan ekstremis dan radikal kaum salafi-wahabi dan al-Asir mengambil keuntungan dari hal itu dan membuat pengumuman di Lapangan Syuhada Beirut dengan menyeru pendukungnya untuk "berjihad" melawan Bashar al-Assad di Syria. Langkah berikutnya adalah dengan melancarkan aksi mogok di jalan bebas hambatan dari Beirut-Sidon, sebuah tempat yang memiliki posisi strategis. Tempat ini merupakan penghubung utama antara Beirut dengan daerah Syiah di selatan Libanon. Al-Assir mengajukan syarat untuk membuka kembali jalan bebas hambatan itu: pelucutan senjata Hizbullah. Pemogokan itu berlangsung selama berminggu-minggu dan baru berakhir setelah aparat keamanan turun tangan.

Ketika terjadi pelecehan Nabi Muhammad oleh media massa barat dan umat Islam di seluruh dunia bangkit melakukan protes, baik Hizbollah maupun pendukung al Asir sama-sama turun ke jalanan. Namun al Asir menggunakan kesempatan tersebut untuk mengecam Hizbollah dan Suriah.

Namun tindakan al-Assir yang paling membahayakan adalah serangan langsung terhadap para mengikut Shiah. Selama bulan Muharram, Muslim Syiah Lebanon, khususnya Hizbollah, memasang tiang bendera untuk meratapi kesyahidan Imam Hussein AS di sepanjang jalan bebas hambatan dari Beirut ke selatan. Pendukung Al-Assir menyerang dan memukuli orang-orang yang tengah berkabung di bawah bendera itu. Langkah itu disesali oleh semua kelompok Libanon, khususnya warga Sidon. Bentrokan antara warga setempat dan pendukung al-Assir pun terjadi di kota itu hingga menewaskran beberapa orang.

Dari semua tindakan al-Asir itu kita bisa mengukur bagaimana kesabaran Hizbollah. Namun bukan berarti Hizbollah tidak berani bertindak. Hizbollah hanya mengukur sejauh mana tindakan yang akan diambil benar-benar tepat. Kita bisa melihatnya dalam kasus pertikaian antara blok Hizbollah dan "Perlawanan" dengan blok pro-Amerika tahun 2008 yang kala itu dipimpin langsung oleh PM Fuad Siniora. Selama berbulan-bulan Hizbollah bersabar terhadap segala provokasi yang dilakukan lawan-lawannya, termasuk ketika Siniora memecat komandan keamanan bandara internasional Beirut yang secara konvensi selalu dipegang oleh perwira militer dari kelompok Shiah. Namun ketika Siniora hendak melakukan tindakan lebih jauh dengan merampas jaringan telekomunikasi milik Hizbollah, Hizbollah bertindak cepat: menyerang posisi-posisi strategis milik pendukung Siniora, menguasainya, hingga mengepung kediaman Siniora dan tokoh-tokoh pendukungnya.

Siniora pun membatalkan rencananya. Tidak hanya itu, ia terpaksa harus menerima syarat yang diajukan Hizbollah, yaitu memberikan 1/3 jabatan kabinet kepada Hizbollah dan kelompok-kelompok blok-nya.



REF:
"Sheikh Hammoud to Al-Manar Website: Takfiris Threat to All Muslims"; Marwa Haidar; Al-Manar Website; 8 Juni 2013
"Sheikh Hammoud: Who Gave You Authority to Define Sunnis?"; blog Islamic Invitation Turky; 2 Maret 2013
"Siapakah Sheikh Ahmad al-Asir?"; Islam Times

No comments: