Turki semakin memanas setelah para pendemo menolak permintaan ma'af pemerintah dan terus menggalang aksi-aksi demonstrasi yang semakin meluas ke berbagai kota.
Pada hari Rabu (5/6) polisi terlibat bentrokan hebat dengan ratusan demonstran yang menyerang kantor perdana menteri Recep Tayyip Erdogan di Istanbul dan Ankara. Polisi khusus anti-huru-hara harus menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan aksi demonstrasi yang kini berubah menjadi aksi menuntut pengunduran diri Erdogan yang saat ini tengah mengadakan lawatan ke luar negeri.
"Para perusuh ada di sini! Dimana Tayyip?" teriak para demonstran merujuk pada tuduhan Tayyid Erdogan bahwa para demonstran hanyalah para perusuh.
Pada hari Selasa (4/6) Deputi Perdana Menteri Bulent Arinc berusaha menurunkan ketegangan dengan menyatakan permintaan ma'af kepada para demonstran atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
"Kekerasan berlebihan yang digunakan terhadap aksi demonstrasi pertama membela lingkungan adalah salah dan tidak adil. Saya meminta ma'af kepada masyarakat," kata Bulent Arinc dalam konperensi pers di Ankara. Sebagaimana diketahui, aksi-aksi demonstrasi yang kini meluas di Turki berawal dari aksi kekerasan polisi terhadap para demonstran yang melakukan aksi damai menolak panataan kawasan Taman Gezi di Istanbul menjadi pusat perbelanjaan modern. Padahal selama ini Taman Gezi yang terletak di kawasan Lapangan Taksim merupakan satu-satunya kawasan hijau di kota itu dengan pepohonannya yang telah berumur puluhan tahun.
Pernyataan ma'af tersebut tidak mendapat sambutan para pendemo. Selasa malam aksi demonstrasi kembali memanas dan meluas ke berbagai kota di seluruh Turki. Dan aksi yang sebelumnya hanya menuntut pembatalan penataan Lapangan Taksim berubah menjadi tuntutan mundur Tayyip Erdogan.
"JIka pemerintah membatalkan keputusannya, jika mereka melakukan satu perubahan di Turki, konservatisme serta hal-hal lain yang telah dilakukan, maka mungkin saja kami akan pulang ke rumah," kata Didem Kul, seorang mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di Lapangan Taksim.
"Namun kami tidak akan pulang tanpa melakukan aksi demonstrasi. Dan jikapun kami pulang, persahaan kami tidak akan berubah," tambahnya.
Sebelumnya pada hari yang sama serikat pekerja Turki, Turkish Confederation of Public Workers' Unions (KESK), yang beranggotakan 240.000 pekerja mengumumkan aksi mogok kerja salam 2 hari sebagai bentuk solidaritas terhadap para demonstran. Jubir KESK Baki Cinar juga menolak permintaan ma'af pemerintah.
"Permintaan maaf itu hanyalah upaya pengendalian kerusakan setelah pemerintah merasa terpojok," kata Cinar.
Sejak hari Jum'at (31/5) puluhan ribu demonstran menggelar aksi-aksi demo anti pemerintah di kota-kota utama Turki seperti Istanbul, Ankara, Izmir, Mugla, Antalya, dan kota-kota lainnya. Menurut laporan LSM Human Rights Association Turki, selama belangsungnya aksi-aksi demo sebanyak 2 demonstran dilaporkan meninggal dan sekitar 2,800 demonstran mengalami luka-luka. Selain itu hampir 800 demonstran telah ditangkap. Laporan-laporan lain menyebutkan jumlah korban meninggal jauh lebih besar lagi setelah polisi dikabarkan menembakkan peluru tajam dan menabrakkan kendaraan lapis bajanya ke arah demonstran.
Amnesty International telah mengecam aksi-aksi kekerasan yang dilakukan polisi pemerintah. Negara-negara barat sekutu Turki, termasuk Amerika bahkan turut memberikan tekanan terhadap pemerintah Turki untuk menghentikan aksi kekerasan polisi terhadap demonstran.
FAKTOR ERDOGAN
Aksi-aksi demonstrasi yang awalnya hanya menuntut pemerintah membatalkan pembangunan Taman Gezi pun berubah dengan cepat menjadi tuntutan pengunduran diri perdana menteri dan pemerintahannya. Pada tgl 3 Mei, misalnya, ribuan orang memenuhi Lapangan Taksim di Istanbul hanya untuk menyerukan pengunduran diri Erdogan.
Kerusuhan-kerusuhan itu sendiri sebenarnya dipicu oleh faktor Erdogan dari semula, meski awalnya suara pengunduran diri Erdogan tidak terdengar. Penataan ulang Taman Gezi menjadi pusat perbelanjaan tidak terlepas dari peran Erdogan. Walikota Istanbul yang merupakan pendukung partai Justice and Development Party (AKP), yang tidak lain adalah partai berkuasa, merupakan keponakan Erdogan. Ia adalah pemilik jaringan mall yang dipastikan bakal mendapat keuntungan besar dengan proyek tersebut. Tidak mengherankan bila aksi demonstrasi dengan cepat menyebar luas.
Pada malam hari setelah kerusuhan di Lapangan Taksim hari Jum'at (31/5), ribuan demonstran mengalir ke jalanan. Puluhan ribu demonstran berkumpul di Lapangan Taksim dan ribuan lainnya juga melakukan aksi yang sama di Ankara dan kota-kota lain mengecam aksi kekerasan polisi. Dalam bentrokan yang terjadi 2 orang anggota parlemen dari kubu oposisi mengalami luka-luka.
Pada tgl 2 Juni, ribuan orang mengepung kantor Erdogan di Ankara sembari meneriakkan kecaman-kecaman terhadap Erdogan, "Diktator, mundurlah!” dan “Kami akan melawan hingga menang!” Di kota pantai Izmir juga terjadi aksi rusuh setelah demonstran membakar kantor Partai AKP. Sehari kemudian demonstrasi pun menyebar ke kota-kota lain dengan satu tuntutan: pengunduran diri Erdogan. Mendagri Muammer Guler menyebutkan pada hari itu aksi-aksi demonstrasi terjadi di 67 kota.
“Perdana menteri kami adalah seorang faksis. Ia mengambil semuanya untuk dirinya, maka kami melawan. Dan kami senang, karena dengan ini pemerintahan AKP akan segera tumbang," kata seorang demonstran sebagaimana dikutip CS Monitor.
Kerusuhan di Turki pun berkembang menjadi isu internasional setelah Amnesty International mengecam tindakan berlebihan yang dilakukan polisi. Sementara Amerika dan negara-negara barat sekutu Turki pun mendesak pemerintah untuk menahan diri. Aksi-aksi demonstrasi mendukung para demonstran di Turki dikabarkan terjadi di Amerika dan beberapa tempat di Eropa.
Sebenarnya aksi-aksi demonstrasi di Turki merupakan penolakan terhadap pemerintahan yang saat ini dianggap lebih banyak menguntungkan Partai AKP dan kroni-kroni bisnisnya. Praktik-praktik neo-liberalisme yang diterapkan pemerintah pada awalnya mampu membawa kemajuan ekonomi yang signifikan sehingga Turki pun mendapat julukan "Macan Timur Tengah" dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 9%. Namun tahun lalu angka pertumbuhan tersebut melorot ke angka 3%, dan tahun ini tampaknya akan terus melorot.
Para pengamat memperkirakan pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi adalah akibat effek "ekonomi busa", yaitu ekonomi yang digerakkan oleh berkembangnya sektor keuangan dan moneter namun tidak diimbangi dengan pertumbuhan riel. Pada satu saat kondisi itu akan pecah menjadi krisis. Pertumbuhan ekonomi selama ini juga diiringi fenomena "negara teror" sebagaimana terjadi pada regim-regim diktator di masa lalu. Turki adalah salah negara tertinggi dalam hal memenjarakan para jurnalis. Para wartawan kritis dengan gampang dicap sebagai "pendukung teroris", "pembuat onar" dan "pemecah belah". Di samping negara-negara Eropa yang sudah maju, kondisi seperti ini tentu sangat tidak nyaman bagi sebagian besar rakyat Turki.
Aksi-aksi demonstrasi saat ini dipastikan membuat kondisi ekonomi semakin runyam. Baru beberapa hari saja aksi-aksi tersebut telah membuat bursa saham dan keuangan mengalami kemerosotan tajam. Angka Indeks saham di Borsa Istanbul merosot mendekati 10,5 poin pada tgl 2 Juni. Ini adalah kemerosotan terbesar sejak bulan Maret 2003. Mata uang Lira Turki juga anjlok sebesar 1.889 terhadap dollar, alias terendah selama 16 bulan terakhir.
Dan faktor terakhir namun tidak kalah menentukan adalah Syria. Dukungan terang-terangan pemerintahan Erdogan terhadap para pemberontak Syria mendapat kritikan tajam dari rakyat Turki yang tentu saja tidak ingin kekacauan di negara tetangga itu merembes ke wilayah Turki. Alih-alih berusaha memadamkan kekacauan, Erdogan justru menyiramkan bensin ke dalam bara api di Syria. Namun api itu juga membakar Turki sendiri.
Menjadikan perbatasan Turki-Syria sebagai basis pemberontakan di Syria, dengan sebagian besar unsur pemberontak adalah teroris, secara otomatis menjadikan Turki sebagai wilayah yang tidak lagi aman. Beberapa serangan bom pun terjadi di Turki, tidak saja dari bom-bom yang ditembakkan pasukan Syria yang berusaha mengejar pemberontak, namun juga bom-bom yang diledakkan para teroris.
Harus diingat bahwa sekitar 20% penduduk Turki adalah penganut sekte Alawi, sekte yang sama yang diikuti oleh regim Bashar al Assad dan pendukung-pendukung utamanya. Maka permusuhan yang dilakukan Erdogan terhadap Syria secara langsung membuat mereka kecewa. Erdogan juga mengecewakan orang-orang Kurdi yang kini wilayah teritorial mereka menjadi ajang perang antara pemberontak dan gerilyawan Kurdi.
Adalah menarik bahwa sebagian demonstran di beberapa kota di Turki menyindir Erdogan sebagai "Erdogan Kimia” terkait dengan penggunaan gas air mata polisi terhadap demonstran, namun juga terkait dengan tuduhan-tuduhan yang dilakukan Erdogan terhadap Syria sebagai pengguna senjata kimia demi mencari alasan dilakukannya serangan militer NATO terhadap Syria.
Tidak lama setelah terjadinya aksi terorisme di kota perbatasan Reyhanli yang menewaskan puluhan warga sipil Turki beberapa waktu lalu, aksi-aksi demonstrasi langsung merebak. Para demonstran menganggap serangan tersebut sebagai tanggungjawab Erdogan yang telah melindungi para teroris di wilayah Turki. Turki langsung menuduh serangan tersebut dilakukan oleh inteligen Syria, namun terbukti kemudian tuduhan tersebut bohong setelah sekelompok "hacker" bernama "RedHack" mempublikasikan laporan yang menyebut keterlibatan inteligen Turki dan kelompok pemberontak Syria dalam serangan itu.
Masih panjang untuk menentukan nasib kekuasaan Erdogan dan partai AKP-nya. Namun jika Erdogan tidak cukup bijaksana mendengarkan aspirasi rakyatnya, sangat boleh jadi aksi-aksi demonstrasi tersebut akan berubah menjadi revolusi "Turki Spring" dan Erdogan senasib dengan pendahulunya di Mesir, Hoesni Mubarak.
REF:
"Turkish protesters reject government apology, continue demos"; Press TV; 4 Juni 2013
"Police fire tear gas at protesters in Istanbul, Ankara" Press TV; 4 Juni 2013
"Turkey´s uprising shakes Erdogan´s power"; Yusuf Fernandez; Press TV; 4 Juni 2013
No comments:
Post a Comment