Sampai tahun 2009, bagi Recep Tayyip Erdogan sang perdana menteri Turki, dunia seakan adalah miliknya. Namanya harum semerbak mewangi, tidak saja di negerinya sendiri, namun juga di seluruh negara Islam bahkan dunia. Ia berhasil mengubah Turki yang relatif terbelakang, menjadi kekuatan ekonomi baru di Timur Tengah dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 9%. Dan saat ekonomi telah berhasil diraih, ia dengan gemilang berhasil mendapatkan popularitas politik internasional dengan sikapnya yang elegan mengecam keras Presiden Israel Shimon Peres atas agresi Israel di Gaza, pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Namanya dielu-elukan di seluruh negara Islam dari Arab Maghribi hingga Indonesia sebagai pembela utama umat Islam terhadap penindasan Israel.
Namun setahun kemudian, Israel mempermalukannya dengan membunuh secara keji 9 warga Turki di atas kapal Mavi Marmara tanpa ia sanggup untuk membelanya. Butuh waktu satu tahun baginya sebelum akhirnya, setelah berkali-kali gagal membujuk Israel untuk meminta ma'af, melakukan "tindakan tegas" terhadap Israel: menghentikan kerjasama keamanan dan ekonomi serta menurunkan tingkat hubungan diplomatik kedua negara, namun tidak sampai memutuskannya. "Tindakan tegas" itupun sebenarnya hanya sandiwara belaka karena diam-diam ternyata hubungan ekonomi dan keamanan kedua negara tetap berjalan normal.
Dan setelah aksi kurang ajar Israel itu, sedikit demi sedikit nama baik dan kharisme Erdogan pun memudar hingga kini ia harus menghadapi situasi yang tidak pernah dibayangkannya. Belum lama setelah gagal membujuk Presiden Amerika Barack Obama untuk mentuntaskan konflik Syria yang menghabiskan energinya serta kegagalan membujuk Uni Eropa untuk menerima Turki sebagai anggota tetap sehingga bisa mendongkrak kembali namanya, kini rakyat Turki bangkit melawan dirinya. Dan seakan seperti istilah "sudah jatuh tertimpa tangga", ia ditinggalkan oleh sekutu-sekutu utamanya: Presiden Abdullah Gul, Deputi Perdana Menteri Bulent Arinc, dan tokoh berpengaruh di balik munculnya partai penguasa AKP yang dikenal sebagai agen kesayangan CIA, Fethullah Gulen.
Perpecahan antara Erdogan dan para elit penguasa pendukungnya bisa dibaca jelas ketika Bulent Arinc pada tgl 4 Juni lalu membuat pernyataan yang bertolak belakang dengan sikap Erdogan. Hanya beberapa saat setelah Erdogan, di sela-sela kunjungan ke negara-negara Maghribi (Afrika Barat-laut) mengecam para demonstran di negerinya, Arinc justru meminta ma'af kepada mereka.
Bulent Arinc, dan Abdullah Gul adalah para pendukung setia Fethullah Gulen yang kini tinggal di Amerika. Mereka biasa disebut sebagai Gulenis. Para pengamat politik Timur Tengah telah melihat bahwa hubungan mereka dengan Erdogan kini tengah berada di titik terendah setelah menganggap Erdogan sudah tidak bisa dikendalikan lagi dan telah menjadi "one man show".
Dengan serikat pekerja dan partai-partai oposisi serta masyarakat umum yang turun ke jalan menuntut pengunduran dirinya, ditambah elit yang meninggalkannya serta birokrat sipil, militer dan kehakiman yang secara tradisional bermusuhan dengan partai Islam, serta sekutu-sekutu luar negerinya yang mengecamnya atas kerusuhan yang terjadi, Erdogan praktis hanya bisa mengandalkan para pendukung AKP serta berharap agar kepolisian tetap loyal pada tugas profesinya.
Namun hanya keajaiban tampaknya yang bisa menyelamatkan Erdogan dari nasib seperti mantan presiden Mesir Husni Mubarak, setelah semua yang dilakukan Erdogan.
Aksi-aksi demonstrasi yang terus berlangsung dengan kuantitas dan kualitas yang semakin besar dari waktu ke waktu dipicu oleh perkara sepele: sekelompok warga pada tgl 31 Mei melakukan aksi duduk di Taman Gezi menolak rencana pembangunan tempat itu menjadi kawasan perbelanjaan modern. Taman Gezi merupakan kawasan hijau terakhir di Istanbul selain sebagai tempat favorit warga berkumpul dan menjadi salah satu tempat kunjungan wisatawan yang terkenal.
Namun dengan arogansinya, Erdogan memerintahkan polisi membubarkan aksi tersebut dengan kekerasan. Para saksi mata termasuk dari Amnesty International menyebutkan polisi menggunakan gas air mata dan meriam air terhadap aksi demonstrasi damai yang dilakukan warga. Kerusuhan pun terjadi dengan sejumlah besar demonstran mengalami cedera. Saat malam tiba, massa justru bertambah dari segala penjuru kota, dan aksi kekerasan pun bertambah besar.
Berbagai laporan menyebutkan korban cedera di antara para demonstran mencapai angka ribuan orang, 3 di antaranya bahkan tewas. Menurut keterangan pers Amnesty International pada tgl 3 Juni 2013, “Turkish Medical Association menyebutkan bahwa sebanyak 4.100 orang yang mengalami luka-luka selama aksi protes telah menjalani perawatan di berbagai rumah sakit di seluruh Istanbul selama 2 hari terakhir."
Namun di balik aksi duduk menentang pembangunan Taman Gezi terdapat alasan yang lebih besar. Menurut laporan berbagai media Turki, di balik proyek pembangunan supermall di Taman Gezi adalah walikota Istambul Kadir Topbas yang merupakan anggota partai berkuasa Justice and Development Party (AKP), serta menantu Erdogan Berat Albayrak. Kadir merupakan pemilik jaringan retil yang bakal mendapatkan basis bisnis baru di tempat tersebut sedangkan Berat mendapatkan proyek pembangunannya. Aksi bagi-bagi proyek terhadap pendukung-pendukung AKP memang telah menjadi perhatian luas masyarakat Turki dan telah menggerogoti kewibawaan Erdogan.
Menambah sentimen anti-Erdogan adalah kondisi ekonomi yang semakin memburuk sejak tahun lalu yang pertumbuhan ekonominya merosot ke angka 2,2% dan tahun ini yang relatif stagnan sebagai dampak krisis hutang yang melanda Eropa. Sementara inflasi, pengangguran serta pasar yang tidak stabil menambah kondisi ekonomi semakin sulit di Turki.
(BERSAMBUNG)
REF:
"Is Erdogan’s political honeymoon nearing its end?"; Anthony Mathew Jacob; Press TV; 9 Juni 2013
"Who Is Fethullah Gulen?"; Claire Berlinski; City Journal
"Et tu, Gul? Then fall, Erdogan"; M K Bhadrakumar; Asia Times; 5 Juni 2013
No comments:
Post a Comment